Permasalahan Utama Pembangunan Perikanan Berkelanjutan


Pengelolaan perikanan yang lemah, baik secara langsung maupun tidak langsung, tentunya akan menimbulkan ketidakteraturan dan tidak terkendalinya usaha perikanan nasional, yang pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas perikanan nasional menjadi tidak berkelanjutan. 
Permasalahan Utama Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Permasalahan Utama Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Kemudian, permasalahan utama keberlanjutan lainnya yang lebih spesifik dihadapi perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia secara umum adalah sebagai berikut :

1) Perikanan tangkap
a. Permasalahan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing Kegiatan IUU fishing tidak hanya dilakukan oleh oleh kapal-kapal ikan berbendera asing saja, tetapi juga dilakukan oleh kapal-kapal ikan nasional. 

Hal ini tercemin dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan kapal-kapal ikan nasional akan aturan main dalam pengelolaan sumber daya ikan, seperti tidak patuhnya kapal-kapal ikan nasional dalam menggunakan VMS (vessel monitoring system) dan pelaporan logbook hasil tangkapannya. Selain itu, juga masih ada nelayan ataupun pengusaha perikanan tangkap yang menggunakan jenis-jenis alat tangkap yang destructive (merusak) atau bahan-bahan yang berbahaya dalam kegiatan operasi penangkapan ikannya.

Masih maraknya kegiatan IUU fishing di Indonesia ini, secara nyata telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan, sehingga aktivitas ini dapat dinyatakan sebagai kendala utama bagi Indonesia dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Sebagai gambaran, bahwa kerugian Indonesia akibat kegiatan illegal fishing saja (penangkapan ikan yang ilegal atau tidak memiliki ijin lengkap) di Laut Arafura mencapai 40 triliun rupiah per tahun.

Kemudian, untuk kerugian dari aktivitas unreported fishing (penangkapan ikan yang tidak dilaporkan), walaupun belum ada laporan perkiraan besaran nilai kerugiannya, namun diperkirakan juga relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, utamanya dalam hal pendataan ikan hasil tangkapan.

Diperkirakan masih cukup banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan, salah satu akibatnya adalah terjadi bias informasi tentang status sumber daya ikan di suatu perairan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan aktivitas penangkapan ikan yang terlalu intensif atau berlebih, yang dalam jangka panjang tentu akan menurunkan sumber daya ikan itu sendiri, dikarenakan tidak ada kesempatan ikan melakukan recovery stok populasinya.

Selanjutnya, untuk unregulated fishing (penangkapan ikan yang tidak diatur), perkiraan besaran nilai kerugiannya juga relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, walaupun belum ada laporan terkait hal tersebut. Salah satu akibat penggunaan jenis alat-alat tangkap ikan yang tidak diatur adalah tingginya hasil tangkapan by catch (hasil tangkapan sampingan yang tidak dimanfaatkan) dan/atau juvenil (anak-anak ikan), karena alat-alat penangkapan ikannya yang tidak/kurang selektif.

Masalah IUU fishing menjadi masalah utama dan rumit yang dihadapi sub-sektor perikanan tangkap hingga kini.

b. Permasalahan padat tangkap di perairan pantai Permasalahan padat tangkap dalam sub-sektor perikanan tangkap hampir terjadi di semua perairan pantai Indonesia, padahal Indonesia memiliki perairan laut yang sangat luas. Hal ini terjadi, karena sebagian besar armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal ikan 5 GT (gross ton) kebawah, yakni sebesar 89%7pada tahun 2012. Kapal penangkap ikan yang berukuran 5 GT kebawah umumnya hanya mampu beroperasi di perairan pantai atau di perairan teritorial (dibawah 12 mil). 

Dengan demikian, sebagian besar armada penangkapan ikan di Indonesia banyak terkonsentrasi di perairan pantai yang terbatas, baik luasan maupun sumber daya ikannya. Apalagi, kapal ikan berukuran kecil ini, yang merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota belum diatur dan dikelola dengan baik dan relatif masih bersifat open access”, sehingga jumlah peningkatan armadanya menjadi tidak terkendali, terutama di daerah-daerah perairan pantai yang dekat dengan konsentrasi padat penduduk. Akibatnya akhirnya tentu sangat berdampak pada keberadaan dan keberlanjutan sumber daya ikan di perairan pantai. 

c. Pengawasan yang masih lemah Regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah tentunya harus diimbangi dengan pengawasan yang efektif. Pengawasan bukan hanya diperuntukkan bagi para pelaku illegal fishing semata, namun juga bagi pelaggar dari setiap aturan atau kesepakatan terkait perikanan berkelanjutan yang telah dibuat. Dalam melaksanakan pengawasan ini, Pemerintah juga harus menggandeng masyarakat dan pelaku usaha perikanan untuk bersama-sama mengawasi aktivitas perikanan yang berjalan dan kondisi lingkungan lautnya guna mewujudkan aktivitas perikanan yang berkelanjutan.

2) Perikanan budidaya a. Permasalahan pakan ikan
Pakan merupakan komponen tertinggi dalam struktur biaya operasi budidaya baik ikan maupun udang, dimana biaya pakan (feed cost) dapat mencapai 40-70% dari biaya operasi. Hal ini mengandung arti bahwa harga pakan sangat berperan dalam menentukan tinggi atau rendahnya biaya produksi ikan.

Selanjutnya, biaya produksi ikan dari suatu negara akan menentukan daya saing ikan negara tersebut di pasar eksport ataupun di pasar domestik. Sebagai implikasinya, pengendalian harga pakan pada level yang relatif murah atau paling sedikit setara dengan harga pakan sejenis di negara kompetitor adalah suatu hal yang sangat positif bagi pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan. 

Dilihat dari sisi produksi, bahan baku pakan ikan di Indonesia sebagian besar masih impor, utamanya tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung jagung, atau kalaupun ada produk dalam negeri biasanya harganya lebih mahal dan kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, secara teknis, sumber protein pakan umumnya berasal dari tepung ikan. Dalam kenyataannya, harga tepung ikan di pasar dunia cenderung terus naik, karena “supply” lebih sedikit dari pada “demand”. Demand terus meningkat akibat perkembangan akuakultur di berbagai negara. Negara-negara tersebut adalah pesaing Indonesia dalam mengekspor komoditas perikanan. Hal ini tentu akan menjadi penghambat keberlanjutan perikanan budidaya secara ekonomi.

b. Permasalahan penurunan kualitas lingkungan perairan
Dilihat dari sisi penggunaan pakan dalam perikanan budidaya sesungguhnya selalu mengandung inefisiensi. Kalaupun budidaya menghasilkan efisiensi pakan 100% atau 1 kg pakan dikonversi menjadi 1 kg ikan atau udang, tetap tidak efisien, karena ada perbedaan kadar air, yakni kadar air pakan lebih kecil dari 10%, sedangkan kadar air ikan atau udang kurang lebih 67%. Dengan perkataan lain, budidaya ikan dengan efisiensi pakan 100% pun tetap menghasilkan limbah yang lebih banyak daripada produknya sendiri. 

Akibatnya, bila hal ini tidak diperhitungkan dengan sistem rantai makanan dan daya dukung lingkungan tentu akan menyebabkan pencemaran dan aktivitas perikanan budidaya pada akhirnya menjadi tidak berkelanjutan. 

Selain itu, jaminan lokasi perikanan budidaya didalam Tata Ruang menjadi suatu fundamental yang sangat urgen, karena hal itu akan berarti kepastian hukum dalam arti fisik dan fungsional bagi para pelaku usaha perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fisik mengandung makna bahwa lokasi budidaya tidak bisa diganggu gugat atau diusir oleh peruntukan lain selain dari perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fungsional bermakna bahwa lokasi yang berada dalam Tata Ruang tersebut akan dapat melaksanakan fungsi perikanan budidaya dengan baik. Sehingga terdapat jaminan bahwa perairan yang ada tidak akan tercemari baik oleh limbah industri, pertanian ataupun rumah tangga yang berada dibagian hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mengalir di kawasan tersebut. Namun, faktanya tidak sedikit masalah yang timbul akibat adanya konflik kepentingan penggunaan ruang antara perikanan budidaya dengan kegiatan sektor lain. Hal ini tentu juga akan menjadi penghambat dalam mewujudkan perikanan budidaya yang berkelanjutan.

c. Permasalahan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free) Pada awalnya perikanan budidaya, tidak sulit mendapat indukan bermutu dan tahan penyakit dari. Namun, dengan berjalannya waktu muncullah berbagai penyakit viral yang menyebabkan indukan ikan dan udang rentan terhadap penyakit. Hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian kelautan dan Perikanan tidak pernah serius dalam menghasilkan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free).

Sebagai gambaran pada perikanan budidaya udang, Pemerintah Amerika dan beberapa negara Amerika Latin membuat riset jangka panjang untuk perbaikan mutu genetik, sehingga diperoleh induk udang Vanamae SPF setelah 15 tahun melakukan riset. Sementara, di Indonesia untuk riset induk udang windu SPF tidak dilakukan dengan serius dan tuntas walaupun sudah dibahas sejak tahun 90-an. Akhirnya, hingga kini di Indonesia induk udang windu SPF belum dihasilkan, dan perikanan udang nasional beralih ke udang vanamae yang induk udang vanamae SPF - nya sangat tergantung impor dari Amerika. 

Keadaan ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena perikanan udang nasional menjadi tergantung kepada negara luar, sehingga perikanan budidaya udang yang berkelanjutan juga akan menjadi sulit terwujud.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat guna lebih memperkuat sistem pengelolaan perikanan nasional agar lebih komprehensif dan berjalan secara efektif dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan di indonesia.

0 Response to "Permasalahan Utama Pembangunan Perikanan Berkelanjutan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel